Kisah Partai Ka’bah, Satu Muktamar, Dua Aklamasi
Kisah Partai Ka’bah, Satu Muktamar, Dua Aklamasi
Cerita politik memang tak ada habisnya. Ndak partainya, ndak kadernya, ada saja peelnya. Kadang asyik juga jadi tontonan sambil seruput kopi tanpa gula, wak. Seperti partai Ka’bah atau PPP ini sedang menggelar Muktamar di Ancol. Simak cerita dan narasinya!
Sejarah akan mencatat, pada 27–28 September 2025, Pantai Ancol bukan hanya tempat keluarga menikmati jagung bakar, tapi juga laboratorium absurd politik. Di sana, Muktamar X PPP melahirkan bukan satu, tapi dua ketua umum sekaligus. “Lah, camane ceritenye, wak?”
Duduk yang manis, pesan kopi agar makin seru ceritanya. Muktamar hasilkan dua pemimpin. Kembar, tapi bukan karena bayi tabung, melainkan karena aklamasi tabrakan. Bayangkan logikanya. Muhammad Mardiono diketuk palu aklamasi pada hari pertama, 27 September. Semua prosedur katanya sahih, 1.304 muktamirin, 28 DPW, mayoritas DPC, hadir, menatap AD/ART dengan penuh cinta. Palu sidang Amir Uskara pun jatuh, tok, dan jadilah Mardiono ketua umum.
Lalu entah kenapa, keesokan dini hari, 28 September, muncullah Agus Suparmanto dengan aklamasi versi lain, dipimpin Qoyum Abdul Jabbar. Agus menunjukan KTA PPP, DPW-DPC ikut mendukung, dan… tok! lagi. Lahir ketua umum kedua. Satu muktamar, dua palu, dua aklamasi. Filosofinya? Demokrasi Indonesia ternyata punya paket buy one get one free.
Drama ini makin megah karena dibuka dengan adegan lempar kursi. Kursi, lambang kekuasaan sejati di republik ini, tidak lagi diduduki, tapi dijadikan senjata. Kursi melayang, tangan mengayun, suara teriak bercampur sholawat. Malaikat pencatat amal bingung, ini pahala apa dosa? Yang jelas, beberapa kader harus dibawa ke rumah sakit. PPP pun buru-buru berkilah, ada penyusup. Entah siapa, mungkin agen rahasia partai sebelah, atau mungkin tukang parkir yang tersesat. Laporan ke polisi pun dibuat, seolah kursi yang terbang punya KTP.
Tentu, calon lain seperti Husnan Bey Fananie dan Agus Suparmanto sebenarnya sudah disebut-sebut sejak awal. Tapi karena hanya Mardiono yang hadir secara fisik pada hari pertama, AD/ART berkata, “selamat, Anda sah.” Dua lainnya gugur otomatis, persis lomba cerdas cermat di mana peserta tak hadir dianggap nol. Namun, drama ini berubah total ketika dini hari tiba. Ternyata, di balik layar, Agus tetap bisa menyalakan mesin aklamasi sendiri. Ini seperti pertandingan sepak bola di mana wasit sudah meniup peluit, skor sudah tercatat, tapi tiba-tiba penonton turun ke lapangan, bawa bola sendiri, bikin gol lagi, lalu mengklaim piala.
Mardiono dengan khidmat meminta maaf karena PPP gagal lolos ke Senayan pada 2024. Ia bilang konflik internal penyebab utama. Agus, tentu, juga punya ambisi mulia, membawa partai kembali ke DPR. Jadi bayangkan, dua supir berebut setir mobil rusak, bensinnya habis, bannya kempes, tapi keduanya yakin bisa menyalip Ferrari.
Sebagai klimaks, PPP tetap mengundang Presiden Prabowo dan Wapres Gibran ke penutupan muktamar. Bayangkan Prabowo duduk di depan, lalu panitia memperkenalkan, “Hadirin sekalian, ini Ketua Umum PPP: Muhammad Mardiono. Dan yang ini, Agus Suparmanto. Dua-duanya sah.” Publik bengong, mungkin berharap akan ada duel tinju politik yang lebih seru dari UFC.
Kalau ditarik ke filsafat, PPP sedang menciptakan teori baru, “Aklamasi Kuantum.” Sama seperti kucing Schrödinger, dalam kotak muktamar, PPP punya dua ketua sekaligus: Mardiono hidup, Agus juga hidup. Yang mati? Logika.
Muktamar X ini bukan hanya forum politik, tapi juga seni pertunjukan. Ada drama kursi terbang, ada ritual doa malam sederhana, ada undangan elite negara, ada dua palu, dua ketua, satu partai, nol kursi DPR. Sebuah tragedi-komedi yang akan dikenang sebagai opera paling absurd dalam sejarah politik tanah air.
Foto Ai, hanya ilustrasi
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Posting Komentar