Menko Yusril: Presiden Prabowo Ingin Meluruskan Ketidakadilan
Menko Yusril: Presiden Prabowo Ingin Meluruskan Ketidakadilan
Sejak Juli 2025 lalu, Presiden RI Prabowo Subianto telah menerbitkan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada sejumlah orang.
Yang pertama diberikan kepada Thomas Kasih Lembong atau dikenal sebagai Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan bersama dengan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan.
Terbaru, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi, eks Direktur Utama PT ASDP Ferry Indonesia, bersama dengan dua direktur lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan soal latar belakang dari penggunaan hak prerogratif Presiden Prabowo tersebut.
Hal itu disampaikan Yusril saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews.com, Palmerah, Jakarta, Selasa (2/12/2025).
“Karena pertimbangan-pertimbangan spesifik yang ada pada presiden, pertimbangan kemanusiaan, ada pertimbangan karena ketidakadilan dalam proses hukum, ada pertimbangan politik, ada pertimbangan memelihara rekonsiliasi nasional, memelihara kesatuan dan persatuan bangsa. Presiden dapat menggunakan kewenangan yang disebut dengan amnesti dan abolisi terhadap orang-orang yang sudah dijatuhi pidana di masa yang lalu, baik masih hidup maupun sudah meninggal,” kata Yusril.
“Demi untuk rekonsiliasi nasional dan demi untuk memulihkan nama baik yang bersangkutan. Presiden juga dapat memberikan rehabilitasi,” sambungnya.
Yusril mengatakan penjelasannya soal amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada sejumlah orang ini penting diketahui oleh publik.
Sebab publik secara pengetahuan belum mengetahui apa itu amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Mantan Menteri Sekretaris Negara ini juga menjelaskan soal status hukum pihak-pihak yang telah menerima amnesti, abolisi maupun rehabilitasi.
“Kalau amnesti itu agak sedikit beda. Jadi amnesti itu bisa diberikan ketika orang itu belum dituntut, sedang dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau bahkan belum dilakukan penyidikan sama sekali,” jelasnya.
Berikut penjelasan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra terkait apa itu Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi yang digunakan oleh Presiden Prabowo, beberapa waktu terakhir ini:
Tanya: Bisa dijelaskan apa sebenarnya latar belakang dari penggunaan hak prerogatif Presiden Prabowo ini?
Jawab: Presiden itu memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, juga berwenang untuk memberikan grasi. Dan itu sudah diatur baik dalam UUD 45, dalam Konstitusi RIS 1949, maupun dalam Konstitusi Sementara tahun 1950. Penggunaannya itu berlangsung sepanjang sejarah, sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, di bawah UUD 45, di bawah Konstitusi Sementara tahun 1950, maupun di bawah UUD 45 pasca Dekrit Presiden 1959, dan sesudah amandemen UUD 45 di awal reformasi.
Pada intinya sebenarnya presiden itu punya kewenangan, katakan dalam konteks itu prerogatif, kewenangan presiden itu yang khusus dan agak luar biasa untuk memberikan amnesti, abolisi, rehabilitasi, dan grasi. Kalau grasi itu, orang sudah dipidana, memohon ampun kepada presiden, maka presiden memberikan grasi dan biasanya meminta pertimbangan kepada Mahkamah Agung.
Nah, sementara untuk orang yang dipidana itu karena pertimbangan-pertimbangan spesifik yang ada pada presiden, pertimbangan kemanusiaan, ada pertimbangan karena ketidakadilan dalam proses hukum, ada pertimbangan politik, ada pertimbangan memelihara rekonsiliasi nasional, memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, maka presiden itu dapat juga menggunakan kewenangan yang disebut dengan amnesti dan abolisi terhadap orang-orang yang sudah dijatuhi pidana di masa yang lalu, baik masih hidup maupun sudah meninggal, demi untuk rekonsiliasi nasional dan demi untuk memulihkan nama baik yang bersangkutan.
Presiden juga dapat memberikan rehabilitasi. Dan dulu, pada waktu amandemen UUD 45 yang pertama, itu hanya disebutkan saja presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi. Tapi dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu disebutkan bahwa dalam hal memberikan semuanya itu, presiden minta pertimbangan kepada Mahkamah Agung.
Begitu juga UUD Sementara tahun 1950. Tapi setelah amandemen UUD 45, itu ada satu perubahan fundamental, ada pergeseran, yaitu semula presiden itu memberikan grasi, memberikan rehabilitasi, minta pertimbangan kepada Mahkamah Agung, juga dalam hal memberikan amnesti dan abolisi, minta pertimbangan Mahkamah Agung.
Sesudah amandemen, dalam hal amnesti dan abolisi, presiden minta pertimbangan kepada DPR. Nah, meskipun pertimbangan itu tidak mengikat, tidak mengikat, tapi presiden wajib meminta pertimbangan kepada DPR.
Mahkamah Agung masih? Hanya untuk grasi dan rehabilitasi. Oke. Untuk amnesti dan abolisi diserahkan kepada DPR. Dan ini ada pergeseran. Dulu adalah, pertimbangan Mahkamah Agung itu adalah murni pertimbangan hukum.
Tapi setelah amandemen UUD 45, karena untuk grasi, dan amnesti dan abolisi itu habis minta pertimbangan DPR, DPR kan tidak mungkin memberikan pertimbangan hukum, pertimbangannya adalah pertimbangan politik. Dan pada masa Pak SBY memberikan amnesti, abolisi, bahkan rehabilitasi di dalamnya, tapi tidak secara langsung, tapi disebutkan ada rehabilitasi di dalamnya.
Pada waktu itu presiden minta pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan kemudian Pak Jokowi juga. Kemudian pada Presiden Pak Prabowo Subianto sekarang, presiden dalam hal memberikan grasi dan rehabilitasi minta pertimbangan kepada Mahkamah Agung. Tapi untuk memberikan rehabilitasi dan untuk memberikan abolisi dan amnesti, presiden minta pertimbangan kepada DPR.
Jadi sebagai satu kewenangan luar biasa, prerogatif presiden sebenarnya itu kewenangannya tidak bisa dipertanyakan. Tapi tentu harus ada alasan-alasan rasional kenapa presiden mengambil keputusan untuk memberikan amnesti dan abolisi itu.
Tanya: Banyak tafsir yang kemudian mengatakan Tom Lembong dapat abolisi, Pak Hasto dapat amnesti, Bu Ira dapat rehabilitasi. Nah, ini bedanya apa ini? Supaya karena termasuk orang mengatakan, loh, kalau begitu ketika orang dapatkan sesuatu dari presiden, orang yang lain punya dampak hukum dong mestinya, seperti Tom Lembong kan diadili bersama dengan banyak orang lain, ya kan? Demikian Mas Hasto, ada orang lain lagi. Bu Ira Puspadewi, kebetulan dua orang direktur lainnya direhabilitasi semua, bagaimana ini?
Jawab: Kalau grasi, itu orang yang dipidana itu harus mohon kepada presiden. Jadi ada permohonan. Biasanya permohonan itu disampaikan kepada Menteri Hukum, kalau sekarang ini, dan Menteri Hukum itu menyurat kepada Mahkamah Agung untuk meminta pertimbangan.
Nah, setelah itu ada pertimbangan dari Menteri Hukum sendiri, ada pertimbangan dari Mahkamah Agung, disampaikan kepada presiden dan berkeputusan. Tapi dalam hal amnesti dan abolisi, juga rehabilitasi, itu tidak bisa dimohon. Inisiatif itu adalah kewenangan dari presiden. Jadi tidak bisa dimohon. Tapi kalau ada pihak-pihak mengusulkan kepada presiden, kita tidak bisa bilang apa-apa, hak orang untuk mengusulkan kepada presiden.
Prinsipnya adalah inisiatif yang diambil oleh presiden sendiri untuk menggunakan kewenangan konstitusional yang dimiliki yang sekarang ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 45 khusus mengenai amnesti dan abolisi itu.
Kalau amnesti, ada orang melakukan satu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai satu tindak pidana, entah dia itu tindak pidana kejahatan biasa, entah itu pidana korupsi, entah dia melakukan makar, entah dia melakukan pemberontakan, subversi jaman dulu.
Presiden dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dia dapat mengeluarkan amnesti. Artinya dari perbuatan itu ada, tapi akibat hukum dari perbuatan itu ditiadakan. Jadi perbuatannya ada, akibat hukumnya ditiadakan.
Kalau abolisi itu, presiden tahu ada perbuatan dilakukan, tapi presiden dia tidak akan dituntut karena perbuatannya itu, jadi dilepaskan negara untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan.
Walaupun memang beda-beda tipis antara amnesti dengan abolisi itu. Tapi dua-duanya itu membuat dampak bahwa akibat hukum dari perbuatan ditiadakan.
Kalau rehabilitasi, rehabilitasi itu, orang itu pertama adalah hak dan martabat, kedudukan dan kehormatan orang yang bersangkutan dikembalikan kepada keadaan semula sebelum dia dituntut karena melakukan satu tindak pidana dan diputuskan dia bersalah melakukan tindak pidana itu.
Rehabilitasi ada dua jenis, ada rehabilitasi yang diatur di dalam KUHAP. Rehabilitasi yang diputuskan oleh hakim. Misalnya orang didakwa korupsi, setelah disidangkan dia tidak terbukti melakukan korupsi atau perbuatannya ada tapi bukan tindak pidana. Hakim dalam putusannya sekaligus merehabilitasi yang bersangkutan. Beda dengan rehabilitasi yang dilakukan oleh presiden.
Rehabilitasi yang dilakukan oleh presiden itu, orang sudah dinyatakan bersalah, tapi presiden kemudian merehabilitasi, artinya orang itu dipulihkan nama baiknya, harkat, kedudukan, dan peruntukannya dipulihkan sebagai warga negara seolah-olah dia seperti sebelum dia melakukan tindak pidana itu.
Tanya: Amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi, tidak menghapus putusan pengadilan?
Jawab: Kalau amnesti itu agak sedikit beda. Amnesti itu bisa diberikan ketika orang itu belum dituntut, sedang dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau bahkan belum dilakukan penyidikan sama sekali.
Misalnya amnesti dan abolisi terhadap seluruh orang yang terlibat dalam pemberontakan Permesta. Itu ada yang masih dalam hutan, masih pegang senjata, belum sampai disidik, ada yang sedang diadili, ada yang sedang sudah dihukum.
Begitu diamnesti, yang sedang ini dia tidak akan dituntut, yang sedang dituntut dihentikan penuntutannya, yang sudah dipidana dikeluarkan dari tahanan. Jadi apakah akibat hukumnya itu tidak ada ya. Kalau misalnya amnesti itu memang dihapus saja semuanya. Abolisi juga dianggap tidak ada perbuatannya. Amnesti juga, segala akibat hukum dari perbuatannya itu dianggap tidak ada. (Tribun Network/ Yuda)


Posting Komentar