Cerpen : Tiga Senja Sebelum Fajar
Langit sepertiga malam itu terasa lebih berat dari biasanya. Jend bersujud, mencari jawaban atas riuh di dadanya. Dalam lelap yang singkat setelah doa itu, sebuah visi hadir: Empat ekor anak kucing.
Tiga di antaranya tampak begitu lincah, bulunya indah, dan bermanja-manja pada kakinya. Namun, dalam sekejap mata—hanya hitungan hari dalam mimpi itu—satu per satu mereka tumbang. Mati. Hanya menyisakan satu ekor di kejauhan yang menatapnya dengan tenang.
Jend terbangun dengan keringat dingin. Ia tahu, "beberapa hari" dalam mimpi istikharah sering kali adalah sandi untuk waktu yang singkat di dunia nyata. Enam bulan. Itu adalah batas napas hubungan yang akan ia jalani.
Bab 1: Ika dan Topeng Kelembutan
Wanita pertama datang seperti embun pagi. Ika. Tutur katanya sehalus sutra, tatapannya teduh, dan perhatiannya nyaris mencekik—dalam artian yang paling manis. Ia adalah definisi "bucin" yang sempurna. Setiap jam, ponsel Jend bergetar oleh pesan-pesan penuh kasih.
"Kamu adalah rumahku, Jend," bisik Ika suatu sore.
Namun, badai datang tanpa mendung. Suatu malam, sebuah kilauan di jari manis Ika menghancurkan segalanya. Bukan dari Jend, melainkan dari pria lain yang diam-diam telah mengikatnya. Saat Jend menuntut penjelasan dengan sedikit nada kecewa—sebuah riak kecil dalam hubungan—Ika tidak mencoba memperbaiki.
Wajah lembut itu mendadak beku. Tanpa air mata, tanpa permohonan maaf, Ika berbalik arah. Ia memilih pergi total, menanggalkan cinta demi ambisi karier yang ia puja. Enam bulan berlalu sejak pertemuan pertama, dan Ika hilang seperti asap.
Bab 2: Yola dan Belati di Balik Bibir
Jend mengira luka pertama adalah pelajaran terakhir. Lalu ia bertemu Yola.
Anehnya, wajah Yola adalah cermin dari Ika. Garis rahang yang sama, sorot mata yang serupa, bahkan tanggal lahir mereka hanya terpaut angka yang berdekatan. Seolah takdir sedang menguji Jend dengan soal yang mirip namun berbeda variabel.
Yola jauh lebih cantik, nyaris seperti lukisan hidup. Namun, kecantikan itu hanyalah bungkus dari duri yang tajam. Setiap kali bibir indah itu terbuka, bukan pujian yang keluar, melainkan makian dan kata-kata kasar yang menyayat harga diri Jend.
"Kenapa kamu tidak bisa seperti pria lain?!" teriak Yola suatu kali, menghancurkan ketenangan malam dengan kata-kata yang tak pantas didengar telinga manusia.
Keindahan fisik Yola menjadi tidak berarti saat lisan menjadi belati. Jend bertahan, mencoba bersabar, namun ia teringat anak kucing kedua dalam mimpinya. Benar saja, tepat di bulan keenam, hubungan itu hancur berantakan. Jend tidak bisa membangun istana di atas tanah yang penuh ranjau kata-kata.
Catatan Jend
Dua nisan cinta telah ia tancapkan. Ika yang pengkhianat dan Yola yang kasar. Jend terduduk di sudut kamarnya, memandangi sajadah yang sama. Dua wanita, dua kemiripan, dua kegagalan yang durasinya persis seperti bisikan mimpinya.
Kini, hatinya bergetar. Ia tahu masih ada satu "anak kucing" lagi yang harus ia temui dan ia relakan, sebelum ia diizinkan menyentuh kucing keempat—sang jodoh sejati yang abadi.
Bersambung...



Posting Komentar