Petunjuk Langit Atas Kisah 4 Rumah Hati
Di teras pesantren yang teduh, Kang Darman duduk bersimpuh di hadapan Kyai sepuh. Wajahnya kusut seperti kain yang tak pernah disetrika. Sebagai pria dengan empat istri, banyak orang menganggapnya raja. Namun kenyataannya, Kang Darman merasa seperti tawanan perang di rumahnya sendiri.
"Kyai," keluhnya dengan suara parau. "Dari keempat istri saya, ada satu yang benar-benar membuat dada saya sesak. Dia cerewet, suka membantah, dan tingkahnya sering bikin jengkel. Rasanya, saya ingin menyudahinya saja. Mohon Kyai bantu istikharahkan, mana yang sebenarnya membawa berkah untuk hidup saya."
Kyai sepuh hanya tersenyum tipis, jemarinya lincah menggeser butiran tasbih. "Pulanglah, Kang. Berdoa. Nanti malam saya mintakan petunjuk pada Gusti Allah."
Tiga malam kemudian, Kang Darman dipanggil kembali. Kyai sepuh menatapnya dengan pandangan yang dalam.
"Kang, saya bermimpi melihat empat anak kucing di halaman rumahmu," ujar Kyai memulai.
Darman menyimak dengan jantung berdebar.
"Tiga anak kucing itu tampak sangat menawan. Bulunya bersih, lincah, dan sangat mesra saat kau elus. Tapi dalam mimpi itu, keindahan mereka hanya sekejap. Dua di antaranya tiba-tiba mati tanpa sebab saat sedang lucu-lucunya, dan satu lagi lari meninggalkanmu begitu saja meski kau sudah memberinya daging paling enak. Mereka sehat, tapi tidak berumur panjang bersamamu."
Kang Darman tertegun. "Lalu yang keempat, Kyai?"
"Anak kucing yang keempat itu... dia yang paling kusam. Dia tampak sakit, badannya lemah, suaranya parau membuat telinga pedih, dan dia terus mengeong minta perhatian hingga kau merasa jengkel. Kau bahkan sempat berniat membuangnya karena dianggap beban."
Kyai berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih berat. "Tapi anehnya, dalam hitungan 'beberapa hari' di dalam mimpi itu, anak kucing yang sakit ini perlahan tegak. Bulunya yang kusam rontok berganti bulu baru yang berkilau. Dia sembuh total, menjadi yang paling setia, dan justru dialah yang menjagamu saat kau tua."
Kang Darman mengerutkan kening. "Apa makna 'beberapa hari' itu, Kyai?"
Kyai sepuh mengambil sebatang lidi, lalu menggaris tanah. "Dalam takbir mimpi ini, satu hari setara dengan satu bulan. Jika dalam mimpi itu ia sembuh dalam hitungan hari, maka di dunia nyata, perubahan itu akan mulai nampak secara nyata enam bulan dari sekarang."
"Kenapa enam bulan, Kyai?"
"Sifat anak kucing tidak akan lebih dari enam bulan untuk menjadi dewasa. Ini adalah isyarat bahwa masa ujianmu dengan istri yang menjengkelkan itu tidaklah lama. Dia adalah 'anak kucing' yang sedang sakit hatinya atau jiwanya. Perangainya yang buruk hanyalah cangkang dari kerapuhan."
Kyai meletakkan tangannya di bahu Kang Darman. "Tiga istrimu yang lain mungkin manis di luar, tapi waspadalah, kemesraan yang berlebihan tanpa ujian seringkali cepat padam seperti api dalam sekam—mereka bisa pergi atau dipisahkan oleh takdir dengan cepat. Namun, istri yang kau keluhkan ini, jika kau sabar merawat 'sakitnya' selama enam bulan ke depan, dialah yang akan menjadi obat bagi masa tuamu."
Kang Darman tertunduk lesu, namun hatinya mulai terang. Dia baru sadar bahwa selama ini dia hanya mencintai kecantikan yang siap pakai, bukan ketulusan yang perlu dibina.
"Enam bulan, Kang," bisik Kyai. "Jangan buang kucing yang sedang sakit, karena saat dia sembuh, dia tidak akan pernah melupakan siapa yang memberinya obat."
Kang Darman pulang dengan langkah mantap. Dia memutuskan untuk tidak lagi menggerutu. Setiap kali istrinya yang satu itu berulah, dia berbisik dalam hati, "Sabar, bulunya sedang berganti."
Apakah Anda ingin saya menggali lebih dalam tentang bagaimana perubahan karakter istri tersebut setelah melewati masa enam bulan dalam cerita ini?


Posting Komentar