Soal Posisi Di PB NU, Ini Elegi Ketulusan Tempo Dulu Para Kyai Pimpinan Penjaga Langit Nahdlatul Ulama
Soal Posisi Di PB NU, Ini Elegi Ketulusan Tempo Dulu Para Kyai Pimpinan Penjaga Langit Nahdlatul Ulama
Dalam panggung politik modern, jabatan seringkali menjadi komoditas yang diperebutkan dengan sikut dan peluh. Namun, sejarah Nahdlatul Ulama (NU) mencatat sebuah anomali yang indah—sebuah masa di mana "pangkat" dianggap sebagai beban amanah yang begitu berat hingga para raksasa spiritual pun merasa tak sanggup memikulnya.
Guncangan di Puncak Menara: Wafatnya KH Bisri Syansuri
Dunia pesantren berduka ketika sang singa fiqih, KH Bisri Syansuri, berpulang ke rahmatullah. Wafatnya beliau meninggalkan lubang besar di posisi Rais Aam PBNU—posisi tertinggi dalam struktur ulama. Secara organisasi, kursi itu kosong. Secara emosional, umat kehilangan kompas.
Dalam suasana duka dan penuh rasa hormat, para kiai sepakat bahwa sosok yang paling layak mengisi kekosongan itu adalah KH As’ad Syamsul Arifin. Alasan mereka kuat: Kiai As’ad adalah satu-satunya santri pengirim tongkat dari Syaikhona Kholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy'ari yang masih hidup. Beliau adalah saksi kunci sekaligus pendiri (Muassis) NU yang tersisa.
"Perang" Ketulusan: Menolak dengan Nyawa
Apa yang terjadi saat forum menyepakati nama Kiai As’ad? Bukan ucapan syukur atau penerimaan yang didapat, melainkan sebuah penolakan yang menggetarkan arsy. Kiai As’ad berkata dengan nada yang sangat dalam:
"Andaikan Malaikat Jibril turun dan memaksa saya menjadi Rais Aam, saya tetap akan menolak. Yang lebih pantas memikul ini adalah Kiai Mahrus Ali."
Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi politik. Ini adalah bentuk tawadhu' (rendah hati) tingkat tinggi, di mana seorang kiai besar merasa dirinya "kecil" di hadapan tanggung jawab umat.
Namun, drama ketulusan ini belum usai. KH Mahrus Ali (Pengasuh Ponpes Lirboyo) yang namanya disebut, langsung menimpali dengan kalimat yang tak kalah dahsyat:
"Jangankan Malaikat Jibril, Malaikat Izrail sekalipun yang datang memaksa saya, saya tetap tidak mau!"
Inilah gambaran nyata dari Izzah (kehormatan) para ulama. Mereka tidak berebut jabatan; mereka justru berebut untuk memberikan penghormatan kepada yang lain. Bagi mereka, jabatan Rais Aam bukanlah panggung kekuasaan, melainkan "pertanggungjawaban" yang bisa membuat lutut gemetar di hadapan Sang Pencipta.
Kepatuhan Tanpa Syarat: Kisah KH Idham Chalid
Semangat "tak gila jabatan" ini juga merembes hingga ke jajaran Tanfidziyah (pelaksana). Ketika dinamika organisasi menuntut penyegaran, Kiai As’ad Syamsul Arifin meminta KH Idham Chalid untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.
Kiai Idham Chalid, yang saat itu merupakan tokoh besar dengan pengaruh luas baik di NU maupun di pemerintahan, tidak menunjukkan resistensi sedikitpun. Tanpa drama, tanpa penggalangan massa, beliau dengan sukarela meletakkan jabatannya. Mengapa? Karena bagi mereka, perintah kiai sepuh adalah titah yang mengandung hikmah, dan kemaslahatan organisasi jauh di atas ambisi pribadi.
Pesan untuk Generasi Hari Ini
Kisah-kisah di atas bukan sekadar dongeng pengantar tidur bagi warga Nahdliyin. Ini adalah cermin retak bagi kita semua yang hidup di era di mana jabatan seringkali dikejar dengan segala cara.
Para ulama terdahulu mengajarkan bahwa:
Jabatan adalah Amanah, Bukan Anugerah: Semakin tinggi posisi, semakin besar rasa takut mereka kepada Allah.
Saling Memuliakan: Mereka melihat kelebihan pada orang lain dan melihat kekurangan pada diri sendiri.
Kemaslahatan Umat adalah Panglima: Kepentingan organisasi dan keutuhan persaudaraan (ukhuwah) jauh lebih penting daripada kursi kekuasaan.
Hari ini, kita merindukan aroma ketulusan itu. Sebuah masa di mana para pemimpinnya lebih takut ditunjuk daripada takut kehilangan posisi.


Posting Komentar