Pro Kontra Operasi Bahlil Amputasi Ijeck Dari Posisi Ketua DPD I Golkar Sumut
Pro Kontra Operasi Bahlil Amputasi Ijeck Dari Posisi Ketua DPD I Golkar Sumut
Pro-Kontra Sosok Ijeck Yang Dicopot Dari Ketua DPD I Golkar Sumut, Berikut Ulasan Imbangnya
SENTRALISTIK PENGGANTIAN IJECK ( Musa Rajekshah )
OLEH: Dewi Teruna DT WARTAWATI ( WAPEMRED HARIAN BERITA SORE)
Penggantian Ijeck sebagai Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara oleh DPP Golkar Pusat dianggap para kader Golkar Sumut mencederai rasa keadilan dan etika organisasi.
Keputusan ini terkesan mengabaikan kerja politik nyata yang telah dibangun Ijeck dari bawah: konsolidasi kader, penguatan struktur, hingga capaian elektoral yang mengangkat marwah Golkar Sumut. Ini bukan sekadar soal jabatan, tetapi soal penghargaan terhadap kerja, loyalitas, dan pengorbanan kader daerah.
Kawan aktivis, memandang bahwa partai politik tidak boleh dikelola dengan logika sentralistik yang menutup mata terhadap realitas di daerah. Ketika prestasi diabaikan dan keputusan diambil tanpa dialog, yang tercederai bukan hanya individu, tetapi demokrasi termasuk internal partai itu sendiri.
Golkar adalah partai besar yang lahir dari sejarah panjang perjuangan, bukan partai yang dibesarkan oleh keputusan elitis. Jika kerja keras kader daerah tidak dihargai, maka kepercayaan akar rumput akan terkikis, dan ini menjadi alarm serius bagi masa depan soliditas Golkar terutam di Sumatera Utara. *Dewi Budiati* Prabowo Subianto Yulie Loebiist Riza Fakhrumi Tahir Bobby Nasution Rico Waas Dzulmi Eldin Rahudman Harahap Sri Duni Lubis Ahmad Taufan Damanik Abdul Rauf Ismail Abdi Yanto Hinca IP Pandjaitan Bayek Rambe
Tulisan Kontra
Penulis Oleh : M Rizki SE
Dalam dinamika politik, adagium “apa yang ditabur, itulah yang dituai” bukan sekadar pepatah. Ia nyata, hidup, dan terus berulang. Dan barangkali kini, hal itu sedang dialami oleh Musa Rajekshah alias Ijeck, Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara yang beberapa tahun terakhir menjadi tokoh sentral dalam pergerakan partai beringin di daerah ini.
Pada Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sumut tahun 2020, Yasir Ridho Lubis sebenarnya telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD. Ia didukung mayoritas DPD II dari kabupaten/kota. Namun kemenangan itu dibatalkan lewat intervensi pusat. Ijeck, yang pada saat itu bahkan belum jelas rekam kaderisasinya di internal Golkar, justru dilantik menjadi ketua. Sebuah proses yang menyisakan luka dan kekecewaan di banyak kalangan kader akar rumput.
Tak lama berselang, Yasir Ridho dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD Sumut. Alasan resmi memang administratif. Tapi dalam benak banyak kader, langkah ini merupakan bagian dari eliminasi politik terhadap lawan yang pernah menyaingi di Musda. Sebuah pola yang dianggap mencederai semangat demokrasi partai.
Kini, lima tahun berlalu, situasi perlahan berbalik. DPP Golkar tidak memberikan izin kepada Ijeck untuk maju sebagai calon Gubernur Sumut pada Pilkada 2024. Usulan nama yang diajukannya untuk menduduki kursi Ketua DPRD Sumut pun ditolak. Berbagai keputusan strategis yang sebelumnya bisa dilobi, kini tidak lagi berpihak padanya. Ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan yang diperoleh secara instan, kerap pula sirna tanpa aba-aba.
Di sisi lain, klaim “prestasi” Ijeck menaikkan jumlah kursi DPRD dari 15 menjadi 22 juga mulai menuai kritik. Banyak yang menyebut keberhasilan itu lebih pantas diberikan kepada para caleg dan kader partai yang bekerja keras di lapangan, bukan semata karena kepemimpinan satu orang.
Ironisnya, beberapa DPD II Golkar di kabupaten/kota kini juga diketahui dipimpin oleh orang-orang yang masih punya hubungan kekerabatan dengan Ijeck dari ipar hingga sepupu. Ini menimbulkan persepsi bahwa partai seolah sedang dijalankan layaknya perusahaan keluarga, bukan organisasi politik publik yang meritokratis.
Menjelang Musda XI Partai Golkar Sumut yang akan segera digelar, narasi “Ijeck harus kembali memimpin” kembali muncul di media. Namun, pertanyaan yang lebih esensial bagi kader hari ini bukan soal siapa tokohnya, melainkan bagaimana arah dan budaya kepemimpinan di tubuh Golkar ke depan. Apakah partai ini akan terus dikelola secara tertutup dan elitis? Ataukah saatnya memberi ruang bagi pemimpin yang lebih kolektif, transparan, dan tidak terjebak dalam pusaran kroni serta politik balas dendam?
Intervensi pusat memang bagian dari realitas politik nasional. Tapi pemimpin daerah harus mampu memanfaatkan kepercayaan itu untuk membangun partai, bukan sekadar mengukuhkan lingkaran kekuasaan pribadi. Golkar adalah partai besar, dan para kadernya berhak mendapatkan kepemimpinan yang adil, inklusif, serta tidak menjadikan partai sebagai alat politik keluarga.
“Tabur-tuai itu nyata,” dan sejarah telah membuktikan: kekuasaan yang diraih dengan menyingkirkan kader, bisa pula berbalik menyingkirkan pemiliknya.
Musda XI ini bukan sekadar pemilihan ketua. Ia adalah momentum penentuan arah. Golkar Sumut harus kembali pada marwahnya: partai kader, bukan partai keluarga.
Ini tanggapan dari Abdullah Amas,
Abdullah Amas (Mantan Politisi Golkar / Direktur Eksekutif Forum Politisi Alumni Golkar/FPAG) menyampaikan berikut :
Dinamika yang menimpa Musa Rajekshah (Ijeck) hari ini adalah sebuah "Déjà Vu Politik" yang sempurna. Jika Dewi Teruna melihat ini sebagai luka keadilan, dan M. Rizki melihatnya sebagai hukum tabur-tuai, saya melihatnya sebagai Operasi Sterilisasi Beringin.
Golkar Sumut saat ini sedang berada di persimpangan antara mempertahankan "Legacy Personal" atau kembali ke "Khittah Organisasi". Mari kita bedah dengan kacamata yang lebih "menggigit":
1. Hukum Newton dalam Politik: Aksi vs Reaksi
Ijeck harus menyadari bahwa di Golkar, "pusat" adalah gravitasi. Dulu, gravitasi itu menariknya ke atas dengan membatalkan kemenangan Yasir Ridho yang notabene adalah kader tulen. Hari ini, gravitasi yang sama menariknya ke bawah. Ini bukan soal sentralisme yang buta, tapi soal konsistensi mekanisme. Anda tidak bisa memuji intervensi pusat saat menguntungkan Anda, lalu memaki intervensi tersebut saat giliran Anda yang "ditepikan".
2. Jebakan "Family Company" di Tubuh Partai
Poin yang diangkat M. Rizki soal kerabat di DPD II adalah alarm maut. Golkar adalah aset publik, bukan "Perseroan Terbatas" (PT). Jika benar struktur partai dari provinsi hingga daerah diisi oleh lingkar kekerabatan, maka Ijeck sebenarnya sedang membangun "Istana Pasir". Megah dilihat, tapi rapuh saat diterjang ombak DPP. Kader-kader ideologis yang berkeringat puluhan tahun tidak akan rela partai ini berubah menjadi dinasti lokal.
3. Prestasi Kursi: Milik Siapa?
Mengklaim kenaikan 22 kursi sebagai prestasi tunggal adalah kenaifan politik. Di Sumut, mesin Golkar itu adalah "raksasa tidur" yang digerakkan oleh tokoh-tokoh lokal di kabupaten/kota. Kursi itu adalah tetesan keringat caleg, bukan sekadar polesan baliho sang ketua. DPP Golkar di bawah kepemimpinan baru tentu punya kalkulasi: Apakah 22 kursi itu karena Ijeck, atau karena Golkar memang sedang kuat di bawah?
4. Musda XI: Momentum "Cuci Gudang"
Pencopotan Ijeck adalah pesan jelas dari Jakarta bahwa "Musim Ijeck Sudah Usai". Upaya narasi "Ijeck Kembali" di media hanyalah upaya bargaining terakhir yang terlihat putus asa. DPP sedang melakukan sterilisasi agar Golkar Sumut tidak tersandera oleh satu faksi yang dianggap terlalu dominan dan eksklusif.
"Di Golkar, tidak ada orang yang lebih besar dari partai. Siapa pun yang mencoba merasa lebih besar dari beringin, sejarah membuktikan mereka akan tumbang oleh rontoknya daun beringin itu sendiri."
Ijeck telah memainkan perannya, dan kini panggung harus berganti. Musda XI bukan soal memilih siapa yang paling kaya atau paling populer, tapi siapa yang mampu mengembalikan Golkar Sumut sebagai Laboratorium Kader, bukan Arisan Keluarga.
- begitu dua tulisan diatas


Posting Komentar