Menggandakan Kemakmuran: Pariwisata sebagai Katalis Ekonomi Nasional (Serial Ekonomi GT Is Me)

 Menggandakan Kemakmuran: Pariwisata sebagai Katalis Ekonomi Nasional (Serial Ekonomi GT Is Me)

Menggandakan Kemakmuran: Pariwisata sebagai Katalis Ekonomi Nasional

Oleh: Teguh Anantawikrama

Ketika dunia pulih dari pandemi, pariwisata Indonesia muncul bukan hanya sebagai sektor liburan, tetapi juga katalis ekonomi—dengan efek pengganda yang nyata. Menurut publikasi Tourism Satellite Account (TSA) 2019–2023 dari BPS, pengeluaran wisatawan—baik domestik maupun internasional—telah diukur secara komprehensif dari sisi permintaan dan penawaran, mencerminkan kontribusi nyata terhadap struktur ekonomi nasional.

Kontribusi Nyata: Rp 373,8 Triliun atau 1% PDB

Data BPS terbaru mencatat kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 373,8 triliun, setara dengan sekitar 1% PDB pada 2023. Namun angka ini hanyalah permukaan. Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan menjalar ke berbagai sektor lain, memperlihatkan bahwa pariwisata adalah pengungkit yang sangat strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Efek Pengganda Pariwisata: Memperluas Nilai, Menghidupkan Rantai Ekonomi

Pariwisata memiliki multiplier effect yang kuat:

1. Efek langsung, berupa belanja wisatawan di hotel, restoran, dan atraksi.

2. Efek tidak langsung, ketika pelaku usaha pariwisata membeli barang dan jasa dari sektor lain—seperti pangan, logistik, dan kriya.

3. Efek lanjutan (induced), dari belanja tenaga kerja dan pelaku usaha pariwisata ke sektor konsumsi masyarakat umum.

Studi regional dan tabel Input-Output menunjukkan bahwa setiap Rp 1 pengeluaran wisatawan bisa mendorong Rp 2,4–Rp 3,4 nilai ekonomi tambahan. Angka ini seharusnya menjadi sinyal penting bagi para pembuat kebijakan.

Strategi Maksimalisasi: Sinergi Lintas Kementerian Adalah Kunci

Agar efek pengganda ini tidak hanya menjadi potensi di atas kertas, diperlukan orkestrasi kebijakan lintas kementerian dan lembaga. Pariwisata tidak bisa bekerja sendiri. Sinergi menjadi keniscayaan:

• Kementerian PUPR bertanggung jawab atas infrastruktur jalan dan air bersih ke destinasi wisata.

• Kementerian Perhubungan memastikan konektivitas antarwilayah, baik udara, darat, maupun laut.

• Kementerian UMKM dan Koperasi perlu mendampingi pelaku usaha lokal agar terintegrasi dalam rantai pasok pariwisata.

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus memastikan keberlanjutan daya dukung ekologi.

• Kementerian Pendidikan dan Ketenagakerjaan bertanggung jawab atas penyediaan tenaga kerja pariwisata yang terampil melalui vokasi.

• Dan tentu, Kementerian Keuangan dan Bappenas memainkan peran dalam penganggaran dan desain insentif investasi.

Tanpa sinergi, efek pengganda pariwisata hanya akan berhenti di angka, tidak menjelma menjadi kesejahteraan rakyat.

Dari Destinasi Menuju Ekosistem Produksi Bernilai Tinggi

Pariwisata harus diposisikan sebagai sektor basis yang mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan industri pendukung. Ini bukan hanya soal “mendatangkan orang”, tetapi tentang bagaimana setiap rupiah yang dibawa wisatawan bisa menghidupi lebih banyak sektor—mulai dari pertanian lokal hingga platform digital.

Penguatan ekosistem ini akan lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan nilai (value consolidation): bagaimana seluruh aktor—pemerintah pusat, daerah, pelaku usaha, dan masyarakat—bekerja dalam satu jalur nilai yang terintegrasi.

Pariwisata Adalah Strategi Ekonomi

Data BPS telah memberi kita fakta: pariwisata menggandakan nilai ekonomi. Tugas kita sekarang adalah menggandakan dampaknya. Bukan hanya dengan promosi, tetapi dengan koordinasi, investasi, dan keberpihakan terhadap pelaku usaha lokal.

Saatnya pariwisata dilihat bukan sekadar sebagai sektor hiburan atau estetika, tetapi sebagai strategi ekonomi nasional—tempat bertemunya pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.