Perlu di Apresiasi, Ini 7 Prestasi Mantan Ketum PBNU Gus Yahya
Perlu di Apresiasi, Ini 7 Prestasi Mantan Ketum PBNU Gus Yahya.
Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa per-tanggal 26 November 2025, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) telah resmi diberhentikan sebagai Ketua Umum PBNU oleh Syuriyah PBNU dan Rois Am. Meskipun Gus Yahya dan kubunya mengklaim masih menjabat secara de facto dan de jure serta masih diberi kesempatan menempuh jalur Majelis Tahkim, tetapi statusnya sebagai Ketum PBNU telah dicabut sesuai surat edaran resmi.
Terlepas dari kekurangannya, selama menjabat (2021-2025) Gus Yahya dikenal membawa angin perubahan signifikan dengan fokus pada restrukturisasi organisasi dan penguatan peran NU di kancah global. Karen itu nahdliyin harus berterimkasih pada khidmah beliau pada organisasi yang kita cintai ini. Dari banyak sumangsih dan prestasi perlu kiranya beberapa yang luar biasa.
Pertama, Gus Yahya mampu membawa hal baru ke dalam PBNU, salah satunya adalah meritokrasi dalam struktur rrganisasi. Gus Yahya menekankan penerapan meritokrasi dan tata kelola organisasi yang lebih modern. Ia berupaya mengisi posisi strategis dengan orang-orang yang dinilai kompeten di bidangnya, sering kali merekrut profesional dari berbagai latar belakang, termasuk menunjuk Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Lakpesdam PBNU. Langkah ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme manajemen organisasi.
Kedua, pewujudan ide Lakpesdam menjadi "Bappenas-nya NU." Salah satu gagasan utamanya adalah mentransformasi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU menjadi semacam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) milik NU. Ini menunjukkan visinya agar NU memiliki pusat kajian strategis yang kuat untuk merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang terstruktur dan berdampak luas, tidak hanya bagi internal NU tetapi juga bagi bangsa.
Ketiga, kantor PBNU lebih megah dan birokratif. Selama kepemimpinan Gus Yahya juga ditandai dengan perbaikan infrastruktur, termasuk menjadikan kantor PBNU lebih representatif dan terorganisir. Hal ini sejalan dengan upayanya untuk menciptakan tata kelola yang lebih birokratif dan modern, memastikan alur kerja organisasi berjalan efisien dan akuntabel.
Empat, Gus Yahya telah banyak membuka jaringan Internasional. Gus Yahya memiliki rekam jejak panjang dalam diplomasi internasional, termasuk saat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sebagai Ketum PBNU, ia aktif membuka dan memperkuat jaringan internasional, mempromosikan Islam moderat Indonesia (Islam Nusantara) ke berbagai negara, dan terlibat dalam forum-forum global terkait perdamaian dan peradaban.
Lima, digitalisasi dengan tata kelola baru, Aspek modernisasi juga merambah ke ranah digital. PBNU di bawah Gus Yahya mendorong digitalisasi sistem dan administrasi, bertujuan untuk transparansi dan efisiensi pengelolaan data organisasi yang besar, serta untuk menggaet generasi milenial dan Z agar lebih dekat dengan NU. Salah satunya adalah website digdaya nu.
Enam, mengahdirkan kembli fiqih peradaban (Fikih Peradaban) selama dua tahun. Ini adalah salah satu inisiatif intelektual terbesar yang digagasnya. Gus Yahya mendorong pengkajian ulang Fiqih Peradaban sebagai respons terhadap tantangan kontemporer. Tujuannya adalah merumuskan kembali pemahaman keagamaan yang relevan dengan konteks peradaban modern, menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal, dan berkontribusi pada perdamaian dunia.
Tujuh, terwujudnya harlah satu abad NU dengan spektakuler. Perayaan besar Harlah Satu Abad NU (100 tahun) pada tahun 2023 menjadi puncak acara di masa kepemimpinannya. Acara ini sukses besar dan menjadi momentum konsolidasi akbar serta demonstrasi kekuatan organisasi NU, baik secara fisik maupun kultural, dengan gaung nasional dan internasional.
Secara keseluruhan, Gus Yahya membawa NU ke arah organisasi yang lebih terstruktur, modern, dan berpengaruh di tingkat global. Namun, pendekatannya yang dianggap terlalu birokratis dan profesional, serta beberapa kebijakan internal lainnya, memicu dinamika politik internal hingga berujung pada keputusan pemberhentiannya oleh Syuriyah PBNU. Karena itu nahdliyin harus berterimakasih atas semua dedikasi dan perjuangannya selama mengemban amanah Ketua Umum PBNU. Wallahu-alam.
Lalu baca tulisan ini
GUS YAHYA DAN CAK IPUL
Mas Yahya; "Ipul ngimpi wae aku ngerti opo isine.”
oleh Dr.dr. Sugeng Ibrahim M.Biomed AIFO-K.
Suaramerdeka.com,-
Di hadapan sejarah, manusia boleh tampak kecil. Namun di hadapan pengkhianatan seorang sahabat, manusia bisa runtuh seketika. Tidak ada luka yang lebih sunyi daripada luka yang ditusukkan dari belakang oleh tangan yang sejak kecil kita percayai. Dan di tubuh PBNU hari ini, luka itulah yang berdarah tanpa suara.
Tetapi Mas Yahya, dengan segala keletihan, kegetiran, dan kejernihan batin, memilih untuk tidak roboh. Ia tahu, kadang-kadang perjalanan seorang pemimpin sejati justru diuji oleh mereka yang paling dekat.
Sebelum dunia mengenal kata "kudeta", sebelum kata "surat pemberhentian" diketik di layar laptop dan dikirimkan lewat jaringan ponsel, ada dua anak muda yang tumbuh bersama: Yahya dan Ipul. Dua nama yang oleh banyak orang dianggap “sekawan politik” sejak masa remaja, pesantren hingga dewasa.
Kedekatan itu bukan basa-basi. Bukan politis. Organik. Bukan sekadar sambi lalu. Itu kedekatan yang lahir dari nurani. Alamiah dan dasariah. Kuat.
Karena itu, ketika Mas Yahya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada akhir 2021 dan harus memilih seorang Sekjen untuk mendampingi kerja politiknya, ia tidak ragu mengabaikan banyak nama yang ditawarkan tim suksesnya. Ia memilih sahabatnya sendiri. Karena sepengakuannya ia tahu aten-atenan (suasana batin) karibnya itu.
Dan dengan penuh kepercayaan diri, dengan kebeningan hati khas orang-orang Jawa Tengah, ia berkata: "Ipul ngimpi wae aku ngerti opo isine." (Ipul bermimpi saja, aku tahu apa isi mimpinya.)
Lalu ia melanjutkan dengan kehangatan seorang sedulur: "Ipul meh watuk wae, aku ngerti." (Ipul mau batuk saja, aku sudah tahu.)
Saking besarnya trust itu, bahkan ketika banyak kawan, juga adik kandungnya mengingatkan dengan lirih dan tawadhu bahwa Gus Ipul sudah “mengasah pedang”, Mas Yahya masih membalas dengan seloroh yang mencerminkan hatinya yang bersih:
"Mungkin pedange kanggo ngiris pelem." (Mungkin pedangnya cuma untuk mengiris mangga.)
Inilah puncak naïveté yang justru menjadi puncak kemuliaannya: mempercayai sahabat melebihi logika, mengalahkan kewaspadaannya. Dan justru karena itulah, pengkhianatan terasa jauh lebih menusuk dan sakitnya tak terkira.
Bahkan di kemudian hari pedang yang menurutnya untuk mengasah mangga itu akhirnya benar-benar digunakan untuk menusuk hatinya, sakit lah kebatinan mas Yahya.
Bakdo Jumatan (28/11/2025) kemarin, saat saya menjumpai dan salim dengan mas Yahya di Keramat Raya, air muka mas Yahya tetap tenang. Bahkan saat pedang untuk mengiris mangga itu, benar telah digunakan untuk menusuk hatinya.
Sakit hati mas Yahya ini sekaligus membuktikan adagium politik lama. Kata banyak orang, politik adalah arena yang membuat saudara bisa saling menohok, menjegal bahkan membunuh diantara mereka.
Tetapi bagi Mas Yahya, politik selama ini adalah jalan pengabdian, bukan arena tikaman diam-diam. Mungkin karena kesadaran itulah, ia tampak tenang, atau paling tidak tampak ditenangkan air mukanya.
Maka, ketika sahabat kecilnya sendiri—Saifullah Yusuf—menyeret Rais Aam, lalu memanfaatkan ketegangan batin Sang Resi, dan mendorong keluarnya “surat pemberhentian Ketum PBNU” dari Syuriyah, dunia terasa runtuh. Bukan karena jabatannya. Bukan karena risiko politiknya. Tapi karena nama yang memegang pedang itu adalah nama yang selama ini ia panggil “sedulur”.
Tak berlebihan pula jika Zastrouw Al Ngatawi menangkap tragedi itu dengan bahasa wayang: “Berkat hasutan Sengkuni dan Duryudana serta dorongan ambisi Durna, tega mengotori jubah kesucian seorang resi sehingga terlibat persekongkolan untuk menyingkirkan Bima.”
Dalam narasi itu, siapa Bima? Dan siapa yang berdiri di belakang layar? Pembaca yang wicaksono tahu sendiri jawabannya.
Di sinilah tragedi menjadi ironis. Saat Syuriyah, melalui tangan Wakil Rais Aam dan Katib Aam, mengeluarkan surat pemberhentian terhadap Ketum PBNU, statuta organisasi justru bersuara paling keras: Tidak bisa. Tidak sah. Tidak punya dasar.
Savic Ali, salah satu Ketua PBNU menjelaskan dengan tenang namun tajam: NU itu perkumpulan. Bukan yayasan. Bukan pula perusahaan keluarga.
Karena itu AD/ART membuat sistem yang sengaja dibuat rumit: Ketua Umum maupun Rais Aam hanya bisa diganti lewat Muktamar atau Muktamar Luar Biasa, bukan lewat keputusan sekelompok elite di Syuriyah.
Savic mengatakan, “Sejauh bacaan saya atas AD/ART, Syuriyah tidak bisa memecat Ketua Umum PBNU. Harus lewat Muktamar.”
Mengapa dibuat sulit? “Agar NU tidak menjadi organisasi yang bisa digoyang-goyang oleh ambisi pribadi dan sikap otoritarian.”
Karena itu, tindakan Rais Aam—yang jelas dipengaruhi tekanan dan framing—adalah langkah di luar prosedur. Buktinya, Gus Yahya belum pernah diberi kesempatan tabayun. Padahal sudah lima kali ia meminta waktu, termasuk saat keduanya satu pesawat dari Jakarta ke Surabaya.
Hasilnya, setiap pintu dialog tetal ditutup. Setiap ruang klarifikasi dikunci. Setiap jalan damai dihalangi.
Ironi semesta bekerja dengan cara halus. Setelah Rais Aam “didorong” mengeluarkan keputusan inkonstitusional itu, setelah berbagai surat beredar, setelah isu keuangan Rp100 miliar dan tuduhan zionisme terus didengungkan, akhirnya roda berputar.
Gus Ipul—sumber badai yang membuat PBNU goyah—justru terdepak dari kursi Sekjen. Kemarin petang.
Ia ditarik keluar dari posisi yang dulu diberikan sendiri oleh Mas Yahya. Posisi yang mengantarkannya menjadi Menteri Sosial pun lahir dari lobi Mas Yahya kepada Presiden Prabowo.
Semua kemuliaan itu, diberikan tanpa syarat, tanpa prasangka, tanpa imbalan, akhirnya dibalas dengan tikaman.
Bayangkan suasana batin Mas Yahya: Ia duduk sendiri, membaca berita demi berita, mendengar orang-orang berspekulasi, menyaksikan sahabat kecilnya berdiri di barisan depan yang menuntut kepalanya. Dan semua itu terjadi ketika ia sendiri berjuang keras menahan badai di dalam organisasi yang seharusnya menjadi rumah.
Mas Yahya tidak marah. Bukan karena ia tidak punya alasan. Tetapi karena sejak kecil ia diajari untuk ngalah tanpa kalah, untuk eling lan waspada, untuk mengubah luka menjadi perenungan dan senjata.
Namun tetap saja, seorang manusia adalah manusia. Dan pengkhianatan sahabat adalah luka yang ditanggung bukan oleh kulit, tetapi oleh hati. Sampai nanti.
Anda bisa membayangkan kegetirannya: Ketika orang yang ia percaya sepenuhnya justru meminjam tangan Rais Aam untuk menekannya. Ketika isu-isu yang tidak berdasar dijadikan senjata. Ketika pintu rekonsiliasi selalu ditutup hingga kini.
Dan yang paling menyakitkan: Ketika ia menyadari bahwa semua tanda itu, semua peringatan lembut dari orang-orang di sekelilingnya, ternyata benar. Sementara ia terlalu lama percaya.
PBNU sedang berada dalam badai terbesar dalam satu dekade terakhir. Namun dari badai itu kita melihat satu hal yang paling manusiawi: bahwa kadang-kadang, yang paling menyakiti bukanlah lawan, melainkan sahabat. Dan yang bisa berkianat adalah kawan dekat.
Tetapi kita juga melihat satu hal yang paling mulia. Bahwa ketegaran seorang pemimpin bukan diukur dari berapa banyak ia menang, tetapi dari berapa banyak luka yang ia pilih untuk tidak membalas.
Mas Yahya berdiri di sana. Di tengah badai. Dengan hati yang memar namun tetap ia kuasai dengan tenang. Meski sahabat kecilnya yang telah pergi meninggalkan jejak tikaman.
Namun ia tetap berdiri, bukan karena ia tidak bisa jatuh, tetapi karena ia tahu bahwa jatuh berarti membiarkan NU digulung oleh ambisi pribadi beberapa orang.
Dan mungkin, di lubuk hatinya yang paling sunyi, ia masih mengingat satu kalimat yang dulu ia ucapkan sendiri: “Ipul ngimpi wae aku ngerti opo isine.”
Sayangnya, ia tidak sempat membaca mimpi yang satu ini.
Lalu bagaimana dengan suasana batin Gus Ipul saat ini? La Ndak tau? Kok tanya saya. Coba beberapa kawan yang dekat dengan Gus Ipul barangkali bisa merawikan suasana hati beliau ihwal perasaan dan pikirannya tentang mas Yahya saat ini. Biar kita semua maklum dengan apa yang sebenarnya yang terjadi.
Penulis adalah santri, dokter ,dosen, anggota PDNU
@sorotan


Posting Komentar