Perlindungan Para Musisi Tradisi Dibahas LMK Dalam Diskusi & Sosialisasi
LMK BAHAS PERLINDUNGAN PARA MUSISI TRADISI YANG TERABAIKAN JAKARTA - Bicara mengenai hak cipta musik seharusnya tidak pandang bulu, terlebih jika kita menginginkan ekosistem yang lebih baik dan berkeadilan untuk semuanya. Namun pada kenyataannya, pembicaraan hanya berfokus pada nama-nama yang dikenal publik, tanpa memberi perhatian lebih kepada para pelaku yang bekerja keras dan jauh dari sorot kamera.
Berbeda dari ranah musik populer, musik tradisi kerap dianggap sebelah mata – mungkin karena kurang komersial atau masih dianggap kuno – sehingga hak-hak yang seharusnya didapat para pelaku musik tradisi justru terabaikan.
Satu hal yang mendasar bagi perlindungan para musisi tradisi adalah pemenuhan hak ekonomi atas karya-karya yang mereka hasilkan.
Hal tersebut jadi topik utama dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Jumat, 30 Juni – di mana pembahasan utamanya berpusat pada pentingnya Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berbasis pada musik tradisional Nusantara.
Sejauh ini, terdapat tiga LMK yang berbasis pada musik tradisional, yaitu Langgam Kreasi Budaya (LKB) sebagai LMK Hak Cipta, Citra Nusa Swara (CNS) sebagai LMK Hak Terkait pelaku pertunjukan, serta Pro Karindo Utama (PKU) sebagai LMK Hak Terkait produser fonogram.
Candra Darusman, musisi yang juga menjabat sebagai Pengawas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyambut baik keberadaan LMK yang berfokus pada musik tradisi. Menurut Candra, banyak kasus di mana para musisi tradisi bisa mendapat hak ekonomi dari karya-karya mereka, baik lagu tradisi yang sudah menjadi domain publik maupun karya baru yang mereka ciptakan sendiri.
“Saya istilahkan di musik tradisi itu ada dua kutub. Satu kutub adalah lagu-lagu yang masih dilindungi hak ciptanya, satu kutub lagi lagu-lagu yang di luar rezim hak cipta,” ujar Candra. “Di sini, uniknya dari LMK Langgam Kreasi Budaya menjembatani dua kutub ini.”
Sebagai salah satu contoh, Candra menjelaskan kasus di mana para musisi tradisional membawakan lagu ciptaan seseorang yang sudah meninggal dunia sejak 140 tahun lalu. Kemudian pertunjukan tersebut direkam dan diunggah di platform digital, seperti YouTube.
Karena Undang-Undang Hak Cipta mengatur bahwa hak ekonomi hanya berlaku sampai 70 tahun sejak penciptanya meninggal dunia, maka hak ekonomi sudah tidak berlaku. Namun, musisi yang menampilkannya masih berhak menerima royalti – melalui hak terkait.
“Kalau suatu orkes tradisi konser di Dinas Pariwisata, direkam, rekamannya tayang di YouTube, maka timbul hak bagi para musisi, para pelaku itu. padahal lagunya sudah tidak ada hak ciptanya lagi,” tutur Candra.
Di samping itu, Shatria Dharma sebagai Ketua LKB menyatakan bahwa tantangan terberat ketika berurusan dengan musik tradisi dan para musisinya adalah minimnya kesadaran terkait hak cipta. Selain itu, banyak karya baru yang hanya ditampilkan, tanpa melakukan rekaman.
“Makanya ada acara (diskusi) seperti ini agar kita bisa sosialisasikan kepada para musisi tradisi,” ujar Shatria.
Shatria meyakini besarnya potensi ekonomi yang seharusnya menjadi hak para musisi tradisi. Sampai saat ini, pihaknya masih terus menghimpun agar musisi tersebut mau mendaftarkan karyanya dan bergabung menjadi anggota LMK.
“Sejauh ini, anggota kita – walaupun masih sedikit pundi yang didapat – setidaknya mereka sudah merasakan royalti atau hak ekonomi dari karya mereka,” pungkas Shatria Dharma.
Posting Komentar