Tulisan Dadi Krismatono : Trump 2.0 Dunia Islam dan Kepentingan Indonesia
Dikutip dari Buka Mata News
Dadi Krismatono
Pengamat Politik
Artikulasi kepentingan Indonesia di Dunia Islam tentu harus mempertimbangkan sikap AS di bawah Presiden Trump. AS tetaplah mitra strategis dan mitra ekonomi penting Indonesia.
Kamis, 13 Maret 2025
Hanya lima hari setelah pelantikan, pada 25 Januari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyampaikan proposal kontroversial untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza. Bukan hanya sekali. Dalam pekan tersebut, Trump mengulangi usulannya itu sebanyak tiga kali seraya mendesak Yordania dan Mesir untuk menerima limpahan warga Palestina.
Puncaknya pada 4 Februari, dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu di Washington D.C., Trump menyatakan AS akan mengambil alih dan menguasai Gaza, bertanggung jawab dalam melucuti semua bom yang belum meledak dan senjata di wilayah itu, bahkan akan mengirim pasukan AS jika dirasa perlu (Reuters.com, Timeline: 20/02/2025).
Sikap ini merupakan kelanjutan posisi Trump pada saat ia menjadi presiden pada periode 2017-2021. Pada masa itu ia melakukan tindakan simbolik dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota suci tiga agama tersebut.
Proposal Trump kontan menyulut reaksi berbagai pihak. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta semua pihak tidak memperburuk masalah. Guterres dilaporkan tampak berhati-hati dalam memilih kalimat dan menghindar untuk menyebut nama Trump. Namun, Guterres tetap menekankan hak asasi bangsa Palestina untuk hidup sebagai manusia di tanah mereka sendiri (Sumber: abcnews.com, 06/02/2025).
Dikutip dari sumber yang sama, Saudi Arabia menegaskan sikapnya yang tidak akan membangun hubungan dengan Israel tanpa terbentuknya negara Palestina merdeka. Saudi juga menolak pemindahan bangsa Palestina dari tanah yang mereka tinggali dan menyebut sikapnya tersebut tak dapat dinegosiasikan dan tak ada kompromi.
Selain dalam isu Palestina-Israel, Trump sejak sebelumnya telah mengambil posisi keras terhadap Iran. Sikap itu dilanjutkan pada masa kepresidenannya kini. Pada hari yang sama dengan pertemuannya dengan Netanyahu di D.C., Trump menandatangani Memorandum Kepresidenan tentang Keamanan Nasional (National Security Presidential Memorandum) yang memerintahkan tekanan maksimum (maximum pressure) terhadap Iran dan proksinya.
Butir pertama Memorandum memerintahkan tekanan dan counter terhadap perkembangan senjata nuklir dan rudal balistik antarbenua, jaringan teroris, dan pengembangan persenjataan Iran yang dinilai agresif.
Di dalamnya juga ada perintah memberikan sanksi ekonomi maksimal. Termasuk mengusut dan membekukan aset-aset Iran yang ada di AS. Gedung Putih menyatakan tidak akan segan memberi sanksi terhadap siapa pun yang melanggar penetapan sanksi tersebut.
Sikap Trump yang keras terhadap Iran ditunggu-tunggu oleh Netanyahu karena ia beberapa kali kehilangan muka akibat retaliasi terukur Iran yang membongkar mitos kecanggihan “iron dome” Israel. Netanyahu berkepentingan Iran masuk lebih ke dalam ke konflik Palestina-Israel untuk memprovokasi AS melakukan bumi hangus terhadap Iran, sama seperti yang dilakukan Paman Sam terhadap Irak dan Libya.
Kepentingan Indonesia
Diplomasi Presiden Prabowo ke Dunia Islam telah menghasilkan sejumlah capaian cepat (quick wins) yang meningkatkan kredibilitas Indonesia di panggung diplomasi internasional. Indonesia kini menjadi salah satu pemimpin opini dunia dalam isu kemerdekaan Palestina. Tidak hanya di panggung politik, diplomasi Prabowo juga telah membuahkan hasil konkret berupa komitmen investasi 6 juta rumah dari Qatar.
Artikulasi kepentingan Indonesia di Dunia Islam tentu harus mempertimbangkan sikap AS di bawah Presiden Trump. AS tetaplah mitra strategis dan mitra ekonomi penting Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-AS 2024 mencatatkan surplus USD 14,34 miliar dan Amerika merupakan penyumbang surplus neraca perdagangan kedua setelah India (Sumber: Kementerian Perdagangan, 21 Januari 2025)
Presiden Prabowo juga harus mempertimbangkan hubungan baik AS dengan negara-negara Teluk lainnya, khususnya Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, karena Indonesia juga memiliki kepentingan dan hubungan yang sangat baik dengan negara-negara tersebut.
Di sinilah diperlukan kejelian dan kelihaian pemerintahan Prabowo untuk “mendayung di antara dua karang”, seperti pidato Bung Hatta pada 2 September 1948 yang kemudian menjadi doktrin bebas aktif dalam politik luar negeri Indonesia.
Apalagi, kini di lautan bukan hanya ada dua karang, melainkan banyak karang mengingat dunia yang berada dalam situasi multipolar.
Selain dalam isu Palestina-Israel, salah satu dinamika yang harus diantisipasi adalah eskalasi sanksi AS terhadap Iran yang dapat mengguncang harga minyak dunia. Sebagai net importer minyak, Indonesia harus memitigasi fluktuasi harga minyak karena akan langsung berdampak pada kestabilan ekonomi dan politik dalam negeri.
Namun demikian, Indonesia dapat mengambil peran lebih di tengah ketegangan akibat sikap Trump terhadap Dunia Islam dan sikap Trump yang secara umum sulit diprediksi, Indonesia berpeluang menjadi jembatan dialog di antara kekuatan-kekuatan global dan menjadi juru bicara Dunia Islam kepada dunia.
Selain itu, Indonesia juga dapat mengoptimalkan perannya sebagai anggota dan negara terbesar di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) melalui diplomasi dengan negara-negara Muslim, baik di Teluk maupun di luar Teluk.
Peran tersebut dapat dijalankan salah satunya karena Indonesia telah mendapat kepercayaan internasional dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Konsolidasi seluruh organisasi kemanusiaan yang dilakukan Kementerian Luar Negeri dalam kerangka diplomasi kemanusiaan dapat meningkatkan jumlah dan dampak bantuan rakyat Indonesia ke Palestina, sehingga lebih efektif, terarah, dan minim gangguan karena mendapat dukungan penuh dari negara.
Indonesia berkepentingan atas stabilitas dan perdamaian di kawasan Timur Tengah dan Dunia Islam. Stabilitas tersebut dibutuhkan sebagai landasan kokoh bagi perdagangan, investasi, pariwisata, dan kerja sama sosial budaya, termasuk pendidikan.
Di atas semua itu, langkah Indonesia tersebut merupakan pelaksanaan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Posting Komentar