Sikap Jernih Dan Objektif! Ini Wawancara A.S Hikam Soal PBNU
PENGANTAR: Hasil wawancara agak panjang, yg saya (ASH) edit sebagian kalimatnya, dengan VOI pada 14 Desember 2025. Masih seputar kemelut di PBNU yg kini makin jauh dari kemungkinan menempuh jalan Ishlah. Lalu apa implikasinya? Silakan menyimak 👇👇
===≠========***===========
"MENYOAL KONFLIK DI PBNU: Antara Beda Pendapat dengan Beda Pendapatan?." Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum menunjukkan tanda akan usai. Kemelut yang tersebut mencuat setelah beredarnya Surat Edaran yang merupakan tindak lanjut dari Rapat Harian Syuriyah PBNU, 20 November 2025, di Jakarta. Hasil rapat itu meminta Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur dari kursi ketua umum dalam waktu tiga hari sejak diterimanya keputusan Rapat Harian Syuriyah. Jika dalam waktu tiga hari tidak mengundurkan diri, Rapat Harian Syuriyah PBNU memutuskan memberhentikan Gus Yahya.
Yahya dan kubunya menentang keras aksi pemecatan tersebut. Ia menuding keputusan itu tidak berdasarkan AD dan ART NU. “Saya masih tetap dalam jabatan saya sebagai ketua umum berdasarkan konstitusi organisasi dan juga berdasarkan pengakuan dari seluruh jajaran pengurus NU di semua tingkatan di seluruh Indonesia,” tukasnya.
Banyak pihak prihatin dengan kemelut yang terjadi di PBNU, termasuk mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Persatuan Nasional (Kabinet Presiden Gus Dur). Ia telah menyerukan agar kedua kubu menahan diri dan menghindari hal-hal yang memperkeruh keadaan. Yang harus dilakukan adalah islah. “Solusinya ya islah. Semua pihak menahan diri dan duduk bersama mencari jalan keluar,” tegas Hikam.
Syarat yang diajukan Muhammad AS Hikam, semua pihak harus berada dalam posisi kosong-kosong. Soalnya, telah terjadi saling pecat dari masing-masing kubu. Namun, seruan islah yang juga disuarakan berbagai pihak, baik dari internal maupun eksternal NU, ternyata tidak menarik bagi mereka yang sedang berseteru.
Dengan konstelasi seperti ini, ia menduga persoalan akan bermuara ke ranah hukum. Jika itu yang terjadi, energi yang dikeluarkan amat besar dan akan menghabiskan waktu. “Kedua pihak harus tahu dan siap dengan konsekuensi itu,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto dari VOI saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu, 14 Desember 2025.
Menurut Pengamat Politik Muhammad AS Hikam ada baiknya persoalan di PBNU diselesaikan secara internal tak perlu melibatkan pihak luar.
VOI: Perseteruan di PBNU belum reda, apa akar masalahnya menurut anda?
ASH: Persoalan ini memang amat krusial bagi NU yang memiliki anggota 100 juta lebih yang tersebar seantero Indonesia dan juga mancanegara. Persoalan ini harus bisa diatasi. Jika tidak, bisa menjadi masalah baru yang akan memengaruhi republik ini. Persoalan ini adanya bukan di NU, tetapi di PBNU. Namun, PBNU inilah yang menyetir organisasi dengan anggota yang amat besar. Akhirnya, orang menyimpulkan konflik internal yang ada di PBNU ini adalah konflik NU, karena bisa juga berpengaruh ke lapisan bawah warga NU. Tanda-tandanya sudah ada, yakni muncul perbedaan pendapat di kalangan massa bawah NU.
VOI: Jadi, apa inti dari persoalan ini menurut pengamatan anda?
ASH: Melihat kemelut yang melanda PBNU tidak bisa hanya dari satu perspektif. Bisa dilihat dari sisi struktural, organisatoris, politik, ekonomi, dan juga kultural. NU merupakan organisasi yang berbasis pada nilai budaya tertentu yang berakar pada kultur pondok pesantren. Karena itu, melihat kemelut PBNU hari ini harus dengan perspektif terbuka.
Namun, semuanya kembali kepada organisasi jemaah dan jam’iyyah yang bersifat kultural. Persoalan-persoalan struktural tadi sangat dipengaruhi oleh sudut pandang kultural ini. Semua persoalan yang ada akan dilihat dari kacamata kultural. NU memiliki keunikan jika dibandingkan dengan organisasi lain. Ada kombinasi antara kepentingan menjaga kultur dengan tata nilai yang tadi saya sebutkan—pesantren, nilai budaya—dan juga hal-hal yang pragmatis dalam pengertian struktural. Organisasi ini didirikan untuk melanjutkan perjuangan para ulama.
VOI: Posisi ulama penting sekali, apakah ini demokratis?
ASH: Posisi ulama itu sentral dalam NU. Namun, jangan dipahami sebagai sesuatu yang tidak demokratis. Soalnya, ada sisi lain yang berhubungan dengan Syuriyah dan Tanfidziyah ketika terkait dengan aturan main organisasi, yaitu AD dan ART. Dalam NU, ulama diposisikan sebagai referensi.
Konflik di PBNU pun bukan kali ini saja terjadi. Pada era KH Idham Chalid, era Gus Dur, dan era KH Hasyim Muzadi juga pernah terjadi konflik. Persoalannya menjadi lain ketika muncul pertanyaan tentang bagaimana menyelesaikan kemelut ini. Sebab, jika melihat kejadian di era sebelumnya, umumnya konflik bisa diselesaikan. Orang kemudian menyimpulkan itulah cara NU menyelesaikan persoalan.
Penggunaan supremasi ulama dan legal-formal organisasi, keduanya harus digunakan untuk menyelesaikan kemelut di PBNU saat ini. Pertanyaannya, sudahkah pendekatan ini digunakan untuk mengurai masalah yang ada?
VOI: Ada institusi Kiai Sepuh yang selama ini menjadi referensi, seperti apa perannya?
ASH: Itu salah satunya. Secara formal, ada dua institusi yang diberi mandat. Pertama, Syuriyah yang dipimpin oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Kedua, mandat kepada Ketua Umum PBNU sebagai Tanfidziyah, yaitu Yahya Cholil Staquf. Keduanya memang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Sebab, ada hak yang dimiliki Syuriyah tetapi tidak dimiliki oleh Tanfidziyah, misalnya dalam mengawasi pelaksanaan program kerja oleh Tanfidziyah.
Di NU juga ada Mustasyar atau penasihat. Selain itu, ada pula kiai sepuh yang tidak masuk dalam struktur birokrasi. Meski begitu, mereka memiliki pengaruh besar karena kapasitas dan kharisma mereka. Mereka juga kerap dimintai pendapat saat terjadi kemelut. Pernah ada pertemuan Kiai Sepuh di Lirboyo, Kediri, saat kemelut terjadi di PBNU. Pertemuan ini menghasilkan solusi yang bersifat mendamaikan. Karena itu, muncul imbauan agar tidak melakukan pemecatan dan reposisi kepengurusan. Jika di Tanfidziyah ada masalah, maka harus diselidiki secara tuntas. Jadi, penyelesaiannya bukan konfrontasi, melainkan islah.
VOI: Soal islah juga disuarakan beberapa pihak, tetapi tampaknya kurang disambut. Mengapa begitu?
ASH: Islah merupakan perintah agama ketika umat Islam berselisih satu sama lain. Islah berarti menempuh jalan damai, karena sesama muslim adalah saudara. Mengapa islah bisa diterima secara konsep, tetapi sulit direalisasikan? Menurut saya... orang melihat dalam islah itu hanya ada satu jalan, padahal di dalamnya ada banyak jalan.
Islah berarti kita mau menyelesaikan persoalan ini bersama-sama dengan cara damai. Namun, ada salah satu pihak yang ingin segera menyelesaikan masalah dengan nuansa konfrontatif. Inilah yang coba dicegah oleh para Kiai Sepuh.
VOI: Meski Kiai Sepuh sudah menyerukan, tetap tidak didengar?
ASH: Itulah yang terjadi. Pleno tetap digelar di Hotel Sultan. Sebagai reaksinya, kubu sebelah juga menggelar pleno di PBNU, meski akhirnya tidak jadi. Ada aksi, lalu ada reaksi. Ketika Gus Yahya mau menerima islah, pihak sebelah tidak. Jadi, tidak ada titik temu. Pertanyaannya, apakah keputusan pleno Syuriyah itu sah secara organisasi? Hal ini masih menjadi perdebatan. Inilah yang menjauhkan para pihak untuk melakukan islah.
Persoalan ini akhirnya sampai ke bawah juga. PWNU dan PCNU masing-masing mengeluarkan pernyataan. Namun, pada dasarnya semuanya mendukung agar dilakukan islah.
Saya akhirnya, sebagai pengamat, memiliki analisis bahwa islah yang saya suarakan tampaknya sudah tidak menarik bagi mereka yang berkonflik. Sebab, saya menggunakan formula yang amat berbeda: semua pihak harus berada pada posisi kosong-kosong, tidak ada pecat-memecat atau rotasi kepengurusan. Kedua kubu duduk bersama, didampingi ulama sepuh, untuk mencari solusi.
VOI: Jadi, masalah utamanya apa?
ASH: Secara faktual kan ada dua masalah yg disebut secara ekaplisit. Pertama, undangan PBNU kepada Peter Berkowitz yang diduga berafiliasi dengan Zionis. Kedua, soal pengelolaan keuangan. Kedua isu ini sebenarnya bisa dijadikan bahan pertemuan untuk dicarikan solusinya. Ada pihak yang merasa tidak diberikan ruang untuk menjelaskan sebelum palu diketuk. Tanpa kemauan dari para pihak untuk menyelesaikan masalah, persoalan ini tidak akan selesai.
VOI: Apakah nanti akhirnya akan diselesaikan secara hukum?
Kalau sudah mentok, langkah hukum yang akan ditempuh. Payung kultural yang selama ini ada akan diabaikan, dan semuanya diselesaikan melalui kerangka hukum. Pada tahun 1999, Gus Dur pernah bertanya mengapa Rais Aam PBNU selalu berlatar belakang ahli fikih atau ushul fikih. Hal itu karena kultur NU sangat lekat dengan fikih. Soalnya, pada persoalan yang bersifat umum—bukan hanya menyangkut warga NU—harus ada landasan yang kuat, apakah hukum agama atau hukum negara. Karena itulah fikih menjadi amat penting.
VOI: Jika terjadi islah, bagaimana kedua kubu bisa bekerja sama kembali sambil tetap menyelesaikan persoalan yang ada?
ASH: Salah satunya dengan mempersiapkan muktamar. Menurut aturan organisasi, di forum muktamarlah Ketua Umum bisa diberhentikan, baik melalui muktamar biasa maupun muktamar luar biasa. Muktamar merupakan prosedur organisasi yang harus diikuti, dan waktunya tinggal setahun lagi. Lalu, buat apa ada kehebohan seperti ini? Belum tentu pula pihak yang diangkat sekarang mampu menyelesaikan masalah. Sebab, NU adalah jemaah, dan persoalan harus diselesaikan bersama.
VOI: Jadi, prediksi Anda, persoalan ini akan bermuara ke ranah hukum?
ASH: Jika tidak ada titik temu, kemungkinan besar persoalan ini akan dibawa ke ranah hukum. Jika sudah masuk ke ranah hukum, prosesnya akan panjang. Pihak-pihak yang terlibat pun akan sangat banyak, bukan hanya dari NU, tetapi juga pihak eksternal.
VOI: Siapa saja pihak eksternal itu?
ASH: Alat Negara dalam hal ini Yudikatif dan Pemerintah. Negara memiliki hak untuk ikut menyelesaikan persoalan. NU merupakan aset bangsa dengan pengaruh yang sangat luas, bukan hanya dalam organisasi, tetapi juga di tengah masyarakat. Karena itu, negara bisa masuk, apalagi jika diminta oleh pihak yang berkonflik untuk membawa persoalan ke ranah hukum.
VOI:Jadi, pihak eksternal akan “cawe-cawe”?
ASH: Kemungkinan itu ada. Namun, “cawe-cawe” tidak selamanya buruk. Jika persoalan masuk ke ranah hukum, apakah bisa selesai sebelum masa bakti kepengurusan yang sekarang berakhir? Saya kira tidak. Salah seorang ahli hukum NU bahkan memprediksi perkara ini akan memakan waktu minimal dua tahun. Jadi, masing-masing pihak harus siap dengan segala konsekuensinya.
VOI: Padahal arus bawah menginginkan para elite PBNU ini islah, ya?
ASH: Ya, mereka memang ingin melihat terjadinya islah. Namun, sekali lagi, di antara pihak yang berselisih ada yang mau dan ada yang tidak mau. Akhirnya, tetap tidak ada titik temu.
VOI: Melihat perseteruan di kalangan elite PBNU ini, massa di akar rumput kecewa. Apakah wajar jika mereka demikian?
ASH: Sangat bisa dimengerti kekecewaan mereka. Mereka tidak memahami gramatika yang ada di NU, yaitu gabungan pendekatan kultural yang berbasis pada etika dan supremasi ulama dengan aturan main organisasi yang berlaku. Inilah yang membuat massa kecewa. Sebab, pertengkaran para elite itu berlangsung amat terbuka dan dapat diakses melalui berbagai media. Pada akhirnya, yang terlihat sekarang adalah bagaimana pihak-pihak yang berseteru ini berupaya mengamankan posisinya masing-masing.
VOI: Jadi, sudah ada niat untuk mengamankan posisi masing-masing, sehingga islah sulit dicapai?
ASH: Ya. Kalau kita melihatnya secara agak filosofis, paradigma yang digunakan dalam manajemen PBNU sekarang lebih cenderung pada model yang bersifat politis. Pendekatan politis ini mengandalkan cara-cara instrumentalistik, yakni pendekatan yang mengutamakan kontrol, penguasaan, penghakiman, atau penghukuman. Pendekatan semacam ini amat jauh dari pendekatan etik dan spiritual yang justru membebaskan orang agar tidak terjebak dalam hal-hal yang saya sebutkan tadi.
Sayangnya, person-person yang ada di PBNU lebih menyukai cara-cara instrumentalistik, baik di Syuriyah PBNU maupun di Tanfidziyah PBNU. Jika orang-orang dengan pendekatan seperti ini berkonflik, apakah mereka akan menyelesaikan masalah dengan cara bermoral? Tentu tidak. Yang mereka cari adalah kemenangan, meski harus ditempuh dengan berbagai macam cara. Inilah yang lazim terjadi dalam organisasi politik, bukan dalam masyarakat sipil seperti NU, yakni organisasi yang didirikan untuk menjaga dakwah Islam dan menegakkan kemaslahatan umum.
VOI: Meski jalan menuju islah sulit, apa harapan Anda kepada kedua kubu?
ASH: Saya berusaha untuk tidak putus harapan. Saya sempat mendengar pendapat Dr. Sastro Al Ngatawi yang masih berharap ada islah, asalkan ada pertemuan antara kedua kubu. Kubu Yahya Cholil Staquf dan kubu Rais Aam yang telah mengangkat PJ Ketua Umum PBNU versi mereka, yakni Zulfa Mustofa. Namun, keduanya harus bertemu terlebih dahulu. Jika bertemu, akan ada proses take and give. Inilah tradisi NU. Akan ada solusi yang kadang-kadang justru mengagetkan.
VOI: Semoga yang kita bicarakan ini didengar oleh masing-masing kubu yang berseteru
ASH: Bukan hanya oleh pihak yang berseteru, tetapi juga didengar oleh warga Nahdliyin di mana pun berada. Saya mengikuti dawuh Kiai Ma’ruf Amin bahwa organisasi NU ini adalah milik semua warga NU, bukan milik segelintir orang di PBNU. Mungkin apa yang kita bicarakan ini tidak akan didengarkan oleh elite NU, tetapi bagi warga NU, saya yakin ada gunanya. Warga NU kini bisa menyampaikan aspirasi karena eranya sudah terbuka. Para elite PBNU tidak boleh menutup mata. Mereka harus melihat dan mendengarkan aspirasi warga.
VOI: Konflik di kalangan elite PBNU ini membuat anak muda sinis. Apa saran Anda kepada anak muda agar bisa melihat persoalan secara fair?
ASH: Suka atau tidak, generasi muda NU lah yang akan melanjutkan kebesaran NU. Mereka berhak bersikap sinis, pesimis, dan kritis. Kaum muda harus tetap kritis, tetapi juga mampu memilah dan memilih informasi. Sebab, di era sekarang terlalu banyak informasi, ada juga yang disinformasi. Generasi muda yang akan melanjutkan kebesaran NU; pesimis saja tidak cukup, kritis saja tanpa memberikan solusi juga tidak cukup. Mereka harus engage dan terus terlibat dalam wacana ini.
NU saat ini hadir di seluruh dunia, dengan lebih dari 40 cabang istimewa di mancanegara. Itu merupakan capaian luar biasa dalam konteks sejarah NU. Ke depan, mau tidak mau NU harus memperbaiki manajemen organisasi. Tidak bisa lagi hanya mengklaim supremasi tanpa dibarengi kemampuan manajemen modern. Kita tidak mungkin mengabaikan instrumen-instrumen modern di tengah dunia yang semakin maju.
VOI: Apa lagi yang perlu diperbaiki dari NU?
ASH: NU memang sangat menjunjung tinggi charismatic leadership para alim ulama. Namun, perkembangan zaman juga menuntut adanya strategic leadership. Ini penting karena dunia semakin kompleks. Mereka yang duduk di Tanfidziyah harus memiliki strategic leadership dan effective leadership. Sementara itu, yang duduk di Syuriyah mengandalkan charismatic leadership dan transformative leadership—berwibawa, tetapi juga mampu menggerakkan dengan kualitas moral dan akhlak.
Sekarang, bagaimana mau maju jika mengelola tambang saja ribet? Lalu yang dikambinghitamkan justru tambangnya. NU memang tidak memiliki kapasitas langsung untuk mengelola tambang. Karena itu, perlu melibatkan pihak luar, baik korporasi maupun perorangan, untuk mengelolanya. Lima tahun dibantu pihak luar, setelah itu SDM NU bisa belajar. Kita perlu mencontoh Muhammadiyah yang memiliki kapasitas dan manajemen organisasi yang baik.
VOI: Artinya manajemen di NU masih perlu diperbaiki?
ASH: Di NU perlu perombakan sistem manajemen. Gus Yahya sebenarnya memiliki visi ke arah itu. Kiai Said Aqil juga sudah melakukan hal serupa. Namun, di NU memang apa-apa harus berjalan pelan, karena banyak orang yang terlibat dan banyak pendapat. Ada guyonan di kalangan warga NU: "Orang NU sudah biasa berbeda pendapat, yang tidak biasa adalah berbeda Pendapatan" , hehehe. Jangan-jangan, pengelolaan tambang di NU memang ada kaitannya dengan perbedaan pendapatan.
Tapi kata orang Inggris jangan melempar bayi bersama air mandinya. Air mandinya saja yang dibuang, bayinya diambil. Bahwa kita harus kritis dengan pengelolaan tambang yang disponsori negara, saya sangat setuju. Dan saya juga mengritik padangan yang terlalu kasar, bahwa mereka yang mengritik tambang dianggap sebagai Wahabi Lingkungan, itu juga tak benar. Karena mereka punya posisi dan paradigmatik yang kuat. Tambang itu kalau tak dikelola dengan kaidah perlindungan lingkungan memang bisa merusak. Faktanya kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang meski tidak semuanya, ada andil dari pengelolaan tambang yang salah. Makanya harus ada dialog, jadi pro dan kontra itu dibicarakan.
Tambahan Feature:
Sebagai seorang dosen, Muhammad AS Hikam senang bisa membantu dan membimbing mahasiswa yang baru selesai sekolah menengah atas untuk memasuki dunia kampus.
Ada dua hal yang amat disyukuri Dr. Muhammad AS Hikam, MA, APU. Pertama, ia memiliki rumah tinggal dengan nuansa desa. Kedua, ia memiliki tetangga yang baik dan penuh perhatian. Bagi dia, doa para tetangga sangat mustajab alias dikabulkan.
Saat tidak mengajar, ia membaca dan mengikuti dinamika yang terjadi melalui media daring dan elektronik dari rumahnya. “Saya mengikuti dinamika digital, membaca, dan melakukan riset. Saya juga diwawancarai oleh teman-teman media sebagai narasumber,” kata pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 26 April 1958.
Apa yang ia lakukan tersebut, kata Hikam, merupakan intellectual curiosity. “Ini adalah panggilan jiwa seorang ilmuwan yang melihat persoalan secara nyata, misalnya masalah internasional dan persoalan organisasi NU, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Mengajar bagi Hikam amat penting. “Karena saya menghadapi freshman, anak-anak yang baru masuk kuliah. Saya mengajak mereka untuk tidak kaget dengan dunia kampus,” kata pemilik nama lengkap Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam.
Nyaman dengan Suasana Kampung.
Memiliki hunian yang bernuansa desa adalah hal yang amat menyenangkan bagi Muhammad AS Hikam.
Rumah bagi Hikam adalah sesuatu yang harus nyaman. Sejak 2001, ia tinggal di kawasan Pamulang Timur, Kota Tangerang Selatan. “Karena saya ini wong deso (orang desa), jadi memang suka dengan suasana desa. Makanya saya senang sekali bisa mendapatkan rumah dan tanah di sini,” kata Hikam, yang merasa kurang cocok dengan rumah pertamanya di daerah Karawaci yang berada di tepi jalan besar.
Jika sudah berada di rumah, ia nyaris tidak mendengar suara kendaraan lalu-lalang. Yang terdengar hanya kicauan burung, dan suara gemericik air dari sungai yang mengalir di dekat rumahnya. “Kontur tanah saya biarkan apa adanya, tidak diuruk. Bagian bawah dibuat kebun dan kolam ikan, sedangkan bagian atas untuk rumah,” terangnya.
Di pekarangan rumahnya terdapat banyak tumbuhan, mulai dari nangka, rambutan, petai, sukun, jati, bambu, dan lain-lain. “Dulu ada pohon durian, tetapi mati. Sekarang sudah ditanam lagi,” ujarnya.
Hikam amat bersyukur memiliki hunian di mana ia bisa menanam berbagai pohon di pekarangan rumahnya. “Aturan saya, tidak ada pohon yang boleh ditebang, kecuali memang sudah waktunya,” katanya.
Terima Kasih Kepada Para Tetangga.
Tak hanya rumahnya yang nyaman, para tetangganya pun baik hati. “Saya amat bersyukur punya tetangga yang baik di sini. Sejak saya datang ke sini, tidak ada yang lebih berharga daripada tetangga. Saya tidak pernah mengunci pintu pagar, karena saya percaya tetangga juga ikut menjaga saya,” katanya.
Hikam juga meyakini doa para tetangga sangat mustajab. “Doa yang mereka panjatkan itu amat mustajab. Sejak anak saya SMA, lalu kuliah S1 sampai S3 di Amerika, mereka doakan. Alhamdulillah semua lancar. Itu juga berkat doa mereka,” lanjutnya.
Kepada Kaum Muda Indonesia.
"Bung Karno adalah contoh generasi muda yang mesti diteladani. Usia 26 tahun, ia sudah memimpin,” terang nya. Termasuk Gen Z di NU.
“Suka atau tidak, generasi mudalah yang akan melanjutkan kebesaran NU. Itu hak mereka untuk sinis, pesimis, dan mengkritik. Kaum muda harus tetap kritis, namun juga mampu memilih dan memilah informasi, karena di era sekarang banyak sekali disinformasi. Generasi muda yang akan melanjutkan kebesaran NU—pesimis saja tidak cukup, kritis saja tanpa memberikan solusi juga tidak cukup. Mereka harus engage dan terus terlibat dalam wacana ini. NU saat ini ada di seluruh dunia, dengan lebih dari 40 cabang istimewa di mancanegara. Itu luar biasa dalam konteks sejarah NU.”
Ini tautannya:
1. https://voi.id/interviu/543153/eksklusif-pengamat-politik-muhammad-as-hikam-kemelut-pbnu-antara-beda-pendapat-dan-beda-pendapatan
2. https://youtu.be/1WEBVsUOsKo?si=Gsd8yNCbPVyHUGLq


Posting Komentar